Oleh : Andi Mulatauwe | 28-Okt-2010, 11:59:32 WIB
Kabar Indonesia - “Survive With KORPALA” yang merupakan moto penjiwaan lahir batin anggota Korps Pencinta Alam Universitas Hasanuddin (Korpala-Unhas) terhadap kecintaan mereka terhadap alam. Kecintaan yang kembali dibuktikan dengan Ekspedisi Pelayaran Akademis II' (EPA II)“.
Hal ini merupakan pelayaran kedua Korpala Unhas ke luar negeri, setelah berlayar dengan perahu Sandeq ke Malaysia, Brunei Darussalam dan Singapura. Pada Ekspedisi Pelayaran Akademis I (EPA I) tahun 1996, Korpala-Unhas berlayar dengan rute Sulawesi–Selatan, Kalimantan, Sabah, Brunei, Serawak, Singapura, Riau, Jawa dan kembali ke Sulawesi Selatan.
Pelayaran ini menunjukkan betapa tingginya daya ‘survive’ mereka, karena kali ini menuju Australia dengan perahu Sandeq yang telah berumur 15 tahun. Perahu tua itu kini dipakai bersimulasi untuk menguatkan kekuatan tim dan kesiapan awak perahu menuju pengarungan samudera yang lebih jauh.
Simulasi dilakukan selama 10 hari (6-16 September) di Pambusuang, Polewali Mandar. Untuk perahu setua itu, kemampuan survival harus terpadu dengan keberanian mengarungi laut dengan keterbatasan pengadaan perahu. Perahu tua, daya survival yang tinggi, keberanian dan keandalan tim, merupakan satu penanda bahwa nenek moyang orang Sulawesi bukan hanya pelaut pemberani, tapi cucu-cucu mereka di generasi terkini, juga demikian.
Pewarisan nilai-nilai keberanian pelaut Sulawesi terwariskan pada setiap gelombang nadi para pengarung samudera ini. Pelayaran ini menelusuri jejak-jejak pengarungan samudera, para pelaut Sulawesi di beberapa titik persinggahan sebelum masuk ke Australia.
Kemampuan Sandeq dalam pelayaran samudera disebutkan pernah mengarungi Singapura, Malaysia, Jepang, Mandagaskar, Australia dan Amerika (http://indotim.net). Dengan EPA II, maka tersisa lagi tiga wilayah yang akan dilayari yakni Jepang, Mandagaskar dan Amerika.
Pengarungan ini menjadi promosi etnik dalam dunia kemaritiman, sebagai bentuk rekonstruksi keberadaan pelaut ulung masa lalu. Pelaut-pelaut itu kini mewariskan semangat mereka dalam keberanian yang tercerdaskan secara akademis. Selama masa pelayaran ini, diadakan pula seminar kemaritiman untuk membedah nilai-nilai kemaritiman dalam ranah intelektual.
Dengan demikian, keberanian di laut terimbangi pula dengan kecerdasan di setiap gulungan ombak. Sisi antropologi dan sejarah yang menjembatani dua budaya antara Sulawesi dan Aborigin, maupun budaya yang terkait menjadi pembahasan ilmiah dalam seminar tersebut.
Di akhir Oktober, para atlet EPA II ini melakukan pendataan daerah pesisir Sulawesi Barat, sebagai bagian dari aktivitas ilmiah dalam pelayaran akademis ini. Guswan, ketua tim ekspedisi memberikan jalur detil EPA II dalam Tempo Interaktif (27/6/10). Ia menyebutkan, jalur pelayaran ini dari Makassar ke Pulau Aborigin Australia Utara.
Jalur ekspedisi ini berawal di Kabupaten Polewali Mandar Sulawesi Barat, lalu perahu bergerak ke Makassar. Dari sini kemudian berlayar ke Pulau Selayar, selanjutnya keluar dari Selat Makassar menuju Pulau Alor. Selepas Alor, tim akan melipir ke pulau kecil di Nusa Tenggara Barat.
Selanjutnya memilih jalur nelayan Marege, dengan pertimbangan peluang dari karakter keganasan alam yang datang baik dari barat maupun timur tetap akan membawa perahu ke pesisir Aborigin, bagian utara Australia. (http://www.tempointeraktif.com). Dengan memilih jalur nelayan Marege, berarti Korpala-Unhas akan merekonstruksi dan merevitalisasi ketangguhan pelaut Sulawesi di jalur yang hanya dilewati para pemberani.
Di tengah persiapan EPA 2, dengan Sandeq tua itu, memang terdapat realitas ironi dari perahu tersebut. Sandeq makin tersisih, terkalahkan oleh keberadaan perahu mesin (Fajar, 3/10/05). Nelayan lebih memilih perahu bermesin dengan alasan lebih praktis.
Sandeq memang hanya jaya dalam seremoni dan perayaan gempita perlombaan. Perahu kebanggaan masyarakat Mandar, hanya terdengar dengung kejayaannya setahun sekali dalam 'Sandeq Race'. Kejayaan seremonial di setiap hari perayaan proklamasi kemerdekaan tersebut, tidaklah bisa mengembalikan kejayaan Sandeq.
Pelaut ulung di masa silam, tak menggunakan Sandeq untuk beberapa piala, penghargaan dan piagam maupun hadiah berupa uang. Di masa lampau, para pelaut ulung di atas perahu itu, mengapungkan kehidupan dalam keandalan sebagai manusia pemberani, karena mempertaruhankan nyawa di laut lepas.
Kejayaan Sandeq tak lagi terpelihara sebagai suatu budaya, tapi berkecenderungan menuju titik menurun sebagai aktivitas perlombaan olahraga belaka. Korpala Unhas, berkehendak merekonstruksi keberanian para pelaut ulung Sulawesi.
Mereka yang dulu berlayar ke Australia Utara, demi mempertahankan hidup keluarga yang ditinggalkan adalah persembahan keberanian yang tak terkatakan. Inilah budaya Sandeq yang tak bisa diapungkan hanya dengan perlombaan. Ketika segala sesuatu hanya dijadikan objek perlombaan, maka budaya telah dilunturkan untuk menjadi siapa menjadi nomor satu, tercepat dan terdepan dalam mengarungi laut.
Ini merupakan sisipan dari luar yang merusak nilai budaya kearifan lokal. Berlomba dan terus berlomba, adalah kebudayaan festival dari Barat, bukan ranah orisinil kultur masyarakat Sulawesi. Dalam laporan Fajar yang juga diposkan kembali oleh Mandar Online disebutkan, “Sandeq memang merupakan kebanggaan, tapi pada suatu saat hanya akan menjadi kenangan masa silam tanpa upaya yang konkret untuk menyelamatkannya.”
Saat yang dicemaskan oleh Fajar dan Mandar Online, tak akan terjadi sebagai kenangan masa silam belaka. Pelayaran EPA I dan EPA II, merupakan usaha konkret KORPALA-Unhas untuk siap menyelamatkan aset budaya ini. Penyelamatan yang sesuai dengan moto, “Survive With Korpala” .
Sisi kebudayaan yang sangat mengakar antara Sandeq dan orang Mandar yakni kondisi alam mengajarkan kepada masyarakat Mandar bagaimana beradaptasi untuk mempertahankan hidup (meminjam bahasa Durkheim, Struggle for Survival) dan membangun kebudayaannya (http://melayuonline.com). “Struggle for Survival” ala masyarakat Mandar bertemu dalam moto “Survive With Korpala” di ekspedisi ini.
Dalam situs itu disebutkan tentang adaptasi untuk mempertahankan hidup, membuat masyarakat Mandar memiliki pengetahuan yang berhubungan dengan laut. Pengetahuan itu yakni berlayar (paissangang asumombalang), kelautan (paissangang aposasiang), keperahuan (paissangang paalopiang), dan kegaiban (paissangang).
Pengejawantahan dari pengetahuan tersebut di antaranya adalah: rumpon atau roppong dan Perahu Sandeq. Rumpon merupakan teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan yang diciptakan oleh para pelaut Mandar. Perangkap ini terbuat dari rangkaian daun kelapa dan rumput laut. Perahu Sandeq merupakan perahu layar bercadik yang khas Mandar, ramah lingkungan, dan tercepat di kawasan Austronesia.
Dengan perahu tercepat inilah, para pengarung laut muda itu bersama perahu tua, menunjukkan kepada dunia, usia bukanlah penghalang. Bagi mereka yang muda. Inilah saat untuk menggulung lebih banyak pengalaman dengan makan garam di laut yang bergejolak.
Tak ada pelaut ulung, di laut yang tenang. Garam terasa lebih gurih, bila langsung diciduk dari gelombang yang tinggi. Perahu tua itu juga bisa berkata kepada siapapun, bahwa kayu tak lapuk dalam umur yang bergerak. Kayu hanya lapuk dalam umur yang diam dan tak dipergunakan untuk apapun.
Simulasi dilakukan selama 10 hari (6-16 September) di Pambusuang, Polewali Mandar. Untuk perahu setua itu, kemampuan survival harus terpadu dengan keberanian mengarungi laut dengan keterbatasan pengadaan perahu. Perahu tua, daya survival yang tinggi, keberanian dan keandalan tim, merupakan satu penanda bahwa nenek moyang orang Sulawesi bukan hanya pelaut pemberani, tapi cucu-cucu mereka di generasi terkini, juga demikian.
Pewarisan nilai-nilai keberanian pelaut Sulawesi terwariskan pada setiap gelombang nadi para pengarung samudera ini. Pelayaran ini menelusuri jejak-jejak pengarungan samudera, para pelaut Sulawesi di beberapa titik persinggahan sebelum masuk ke Australia.
Kemampuan Sandeq dalam pelayaran samudera disebutkan pernah mengarungi Singapura, Malaysia, Jepang, Mandagaskar, Australia dan Amerika (http://indotim.net). Dengan EPA II, maka tersisa lagi tiga wilayah yang akan dilayari yakni Jepang, Mandagaskar dan Amerika.
Pengarungan ini menjadi promosi etnik dalam dunia kemaritiman, sebagai bentuk rekonstruksi keberadaan pelaut ulung masa lalu. Pelaut-pelaut itu kini mewariskan semangat mereka dalam keberanian yang tercerdaskan secara akademis. Selama masa pelayaran ini, diadakan pula seminar kemaritiman untuk membedah nilai-nilai kemaritiman dalam ranah intelektual.
Dengan demikian, keberanian di laut terimbangi pula dengan kecerdasan di setiap gulungan ombak. Sisi antropologi dan sejarah yang menjembatani dua budaya antara Sulawesi dan Aborigin, maupun budaya yang terkait menjadi pembahasan ilmiah dalam seminar tersebut.
Di akhir Oktober, para atlet EPA II ini melakukan pendataan daerah pesisir Sulawesi Barat, sebagai bagian dari aktivitas ilmiah dalam pelayaran akademis ini. Guswan, ketua tim ekspedisi memberikan jalur detil EPA II dalam Tempo Interaktif (27/6/10). Ia menyebutkan, jalur pelayaran ini dari Makassar ke Pulau Aborigin Australia Utara.
Jalur ekspedisi ini berawal di Kabupaten Polewali Mandar Sulawesi Barat, lalu perahu bergerak ke Makassar. Dari sini kemudian berlayar ke Pulau Selayar, selanjutnya keluar dari Selat Makassar menuju Pulau Alor. Selepas Alor, tim akan melipir ke pulau kecil di Nusa Tenggara Barat.
Selanjutnya memilih jalur nelayan Marege, dengan pertimbangan peluang dari karakter keganasan alam yang datang baik dari barat maupun timur tetap akan membawa perahu ke pesisir Aborigin, bagian utara Australia. (http://www.tempointeraktif.com). Dengan memilih jalur nelayan Marege, berarti Korpala-Unhas akan merekonstruksi dan merevitalisasi ketangguhan pelaut Sulawesi di jalur yang hanya dilewati para pemberani.
Di tengah persiapan EPA 2, dengan Sandeq tua itu, memang terdapat realitas ironi dari perahu tersebut. Sandeq makin tersisih, terkalahkan oleh keberadaan perahu mesin (Fajar, 3/10/05). Nelayan lebih memilih perahu bermesin dengan alasan lebih praktis.
Sandeq memang hanya jaya dalam seremoni dan perayaan gempita perlombaan. Perahu kebanggaan masyarakat Mandar, hanya terdengar dengung kejayaannya setahun sekali dalam 'Sandeq Race'. Kejayaan seremonial di setiap hari perayaan proklamasi kemerdekaan tersebut, tidaklah bisa mengembalikan kejayaan Sandeq.
Pelaut ulung di masa silam, tak menggunakan Sandeq untuk beberapa piala, penghargaan dan piagam maupun hadiah berupa uang. Di masa lampau, para pelaut ulung di atas perahu itu, mengapungkan kehidupan dalam keandalan sebagai manusia pemberani, karena mempertaruhankan nyawa di laut lepas.
Kejayaan Sandeq tak lagi terpelihara sebagai suatu budaya, tapi berkecenderungan menuju titik menurun sebagai aktivitas perlombaan olahraga belaka. Korpala Unhas, berkehendak merekonstruksi keberanian para pelaut ulung Sulawesi.
Mereka yang dulu berlayar ke Australia Utara, demi mempertahankan hidup keluarga yang ditinggalkan adalah persembahan keberanian yang tak terkatakan. Inilah budaya Sandeq yang tak bisa diapungkan hanya dengan perlombaan. Ketika segala sesuatu hanya dijadikan objek perlombaan, maka budaya telah dilunturkan untuk menjadi siapa menjadi nomor satu, tercepat dan terdepan dalam mengarungi laut.
Ini merupakan sisipan dari luar yang merusak nilai budaya kearifan lokal. Berlomba dan terus berlomba, adalah kebudayaan festival dari Barat, bukan ranah orisinil kultur masyarakat Sulawesi. Dalam laporan Fajar yang juga diposkan kembali oleh Mandar Online disebutkan, “Sandeq memang merupakan kebanggaan, tapi pada suatu saat hanya akan menjadi kenangan masa silam tanpa upaya yang konkret untuk menyelamatkannya.”
Saat yang dicemaskan oleh Fajar dan Mandar Online, tak akan terjadi sebagai kenangan masa silam belaka. Pelayaran EPA I dan EPA II, merupakan usaha konkret KORPALA-Unhas untuk siap menyelamatkan aset budaya ini. Penyelamatan yang sesuai dengan moto, “Survive With Korpala” .
Sisi kebudayaan yang sangat mengakar antara Sandeq dan orang Mandar yakni kondisi alam mengajarkan kepada masyarakat Mandar bagaimana beradaptasi untuk mempertahankan hidup (meminjam bahasa Durkheim, Struggle for Survival) dan membangun kebudayaannya (http://melayuonline.com). “Struggle for Survival” ala masyarakat Mandar bertemu dalam moto “Survive With Korpala” di ekspedisi ini.
Dalam situs itu disebutkan tentang adaptasi untuk mempertahankan hidup, membuat masyarakat Mandar memiliki pengetahuan yang berhubungan dengan laut. Pengetahuan itu yakni berlayar (paissangang asumombalang), kelautan (paissangang aposasiang), keperahuan (paissangang paalopiang), dan kegaiban (paissangang).
Pengejawantahan dari pengetahuan tersebut di antaranya adalah: rumpon atau roppong dan Perahu Sandeq. Rumpon merupakan teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan yang diciptakan oleh para pelaut Mandar. Perangkap ini terbuat dari rangkaian daun kelapa dan rumput laut. Perahu Sandeq merupakan perahu layar bercadik yang khas Mandar, ramah lingkungan, dan tercepat di kawasan Austronesia.
Dengan perahu tercepat inilah, para pengarung laut muda itu bersama perahu tua, menunjukkan kepada dunia, usia bukanlah penghalang. Bagi mereka yang muda. Inilah saat untuk menggulung lebih banyak pengalaman dengan makan garam di laut yang bergejolak.
Tak ada pelaut ulung, di laut yang tenang. Garam terasa lebih gurih, bila langsung diciduk dari gelombang yang tinggi. Perahu tua itu juga bisa berkata kepada siapapun, bahwa kayu tak lapuk dalam umur yang bergerak. Kayu hanya lapuk dalam umur yang diam dan tak dipergunakan untuk apapun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar